About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
as sweet as ice cream | food, film, and family lovers | love my self so much | my love is your drug

Sunday, January 29, 2012

Cerita Pendek

Yeah, di blog saya ini, saya akan ngeshare cerpen-cerpen yang sudah pernah saya buat sebelumnya. Kebanyakan sih dari kejadian nyata saya, yang saya masukan ke dalam cerpen-cerpen ini. Dan, kebanyakan saya ngecover lagu orang. Karena, saya percaya di setiap lagu itu ada yang merealisasikan dari kehidupan nyata kita. Check this out, my first short story. Cerpen ini pernah mendapat nilai tertinggi di kelas Mata Kuliah Menulis Sastra.


Kakiku Sayang
Adzan subuh berkumandang memerintahkan  para umatnya untuk bangun dari bunga tidur yang panjang. Ketukan pintu kamar dan suara ibuku juga membantu aku bangun. Aku menggeliat kecil dan perlahan membuka mataku.
            “Vian, ayo cepat mandi. Setelah salat subuh kita harus bersiap salat id,” kata Ibu di depan pintu kamarku.
            “Iya Bu,” jawabku dan aku bangun menuju pintu kamar, dan membukanya. Kulihat di rumahku sudah ramai. Ibu dan kakak perempuanku sedang mempersiapkan ketupat sayur untuk makan setelah salat id nanti. Aku melihat ayahku baru saja keluar dari kamar mandi dan kulihat Ia berjalan menuju kamarnya. Aku pun segera memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah mandi, aku segera memakai baju koko putih dan bersiap salat subuh berjamaah bersama keluargaku. Setelah salat, kami bersiap diri sebentar, lalu kami berjalan bersama menuju masjid dekat rumah untuk salat Ied. Sesampainya di masjid, aku mencari tempat yang masih kosong, dan aku mendapatkaannya di pojokan sebelah kiri, baris ke lima. Aku pun menggelar sajadahku. Aku duduk dan mendengarkan takbir yang perlahan-lahan membuka ingatanku, ke dua belas tahun yang lalu.
●●
            Namaku Alviansyah, dan sering dipanggil Vian oleh keluarga dan teman-temanku. Ibu dan ayahku sangat memanjakan aku karena aku adalah anak terakhir di keluarga. Kakakku bernama Fina dan Rian. Mba Fina selalu membantu aku saat aku sedang kesulitan dan mas Rian selalu menyulitkan mba Fina saat Ia berusaha membantuku. Saat itu, aku berusia lima tahun dan duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, dan kejadian paling menyedihkan di hidupku, terjadi saat hari raya Idul fitri.
            Saat itu, setelah kami sekeluarga selesai menunaikan salat Idul Fitri di masjid dekat rumah kami, kami pulang kerumah dan mulai menerima tamu. Keluarga besarku pun mulai berdatangan, dari bude, sampai tante ku datang ke rumah dengan anak-anak mereka. Kami pun mengadakan acara sungkeman, dan para orangtua memberikan salam tempel untuk anak-anak yang lebih kecil. Mas Rian yang hanya beda dua tahun denganku itu selalu mengajakku bertanding, siapa yang mendapat uang paling banyak di hari Lebaran, akan ditraktir oleh yang kalah, dan aku selalu memenangkannya setiap tahun.
            Sesuai rencana, siang itu kami sekeluarga besar berangkat ke rumah si Mbah, ayah dari ibuku, walaupun langit sudah hampir gelap. Setengah jam perjalanan, dan akhirnya kami sampai di sana setelah melewati jalan-jalan yang sempit. Kami lalu turun dari mobil, dan mobil diparkir ayahku tepat di halaman depan rumah si Mbah. Aku melihat hanya ada dua rumah disana. Ada bale-bale yang tidak terlalu besar di bawah pohon jambu air, tepat di antara dua rumah itu. Aku memasuki rumah si Mbah, melewati halaman yang cukup luas untuk anak-anak kecil bermain. Tak lama aku di dalam, aku mengajak Dany, sepupuku yang seumuran denganku untuk keluar, dan diikuti oleh saudaraku yang lainnya. Setelah memakai sandal, kami berdua berjalan menuju bale-bale, dan duduk disana. Kami saling bercerita tentang mainan dan kartun kesukaan kami.
            Sedang asyiknya kami bercerita, ada suara mangkuk tukang bakso yang berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah si Mbah. Spontan, kami serempak melihat ke arah tukang bakso itu. Dari dalam rumah, tanteku keluar dan bertanya, “Ayo, siapa yang mau bakso?” Kami pun saling mengangkat jari telunjuk kami tinggi-tinggi. Lalu Ia melanjutkan, “Yaudah, duduk yang manis yaa. Nanti tante pesenin’” katanya. Tanteku lalu menghampiri tukang bakso itu dan memesan bakso sesuai banyaknya permintaan. Aku dan yang lainnya mengatur posisi duduk. Aku sendiri memilih duduk di teras tetangga si Mbah yang kebetulan pemiliknya sedang pergi. Mba Fina, dan mas Rian memilih duduk di bale-bale, sedangkan para orangtua, termasuk Ibuku masih ada di dalam rumah si Mbah.
 Tak lama kami menunggu, bakso pesanan kami pun diantar oleh penjualnya dan kami pun siap untuk menyantapnya. Ditemani rintik hujan yang baru saja turun, dengan nikmat dan rasa lapar, aku menghabiskan bakso itu. Bakso pun habis, dan aku mengantarkan mangkuk bakso itu sendiri ke si penjual bakso. Saat aku baru saja meletakan mangkuk itu di meja gerobak bakso, aku melihat dengan jelas ada mobil sedan yang melaju cukup kencang berjalan melewatiku. Sepintas aku bisa melihat wajah orang yang membawa mobil itu, seorang pria dengan kacamata hitam. Tak kusadari, bagian belakang mobil sedan itu menyangkut ke salah satu roda gerobak bakso. Dalam hitungan detik, gerobak bakso di depanku itu berputar sangat cepat, hingga aku tak bisa melarikan diri lagi. Aku melihat perputarannya, tak lagi aku melihat mobil yang masih berusaha maju untuk jalan itu. Putaran gerobak itu menuju diriku, dan menabrak tubuhku. Aku pun terjatuh. Ku rasakan golakan kuah bakso itu menyiram kakiku dengan sangat cepat. Ku rasakan air menggolak di sekujur kakiku. Perlahan api menjalar di bagian kaki sampai pahaku. Ku rasakan sakitnya dadaku, karena beban gerobak. Aku meronta, aku menangis sejadi-jadinya. Kakiku panas, kakiku terbakar. Aku melepuh, aku tak bisa berfikir. Aku hanya menangis. Itu terjadi begitu cepat. Api ini semakin panas menjalar di kakiku. Terbayang olehku mobil sedan itu, wajah ibu dan ayahku, semua keluargaku. Aku sakit. Aku hanya bisa menangis dan mencoba berkata, “Aku kepanasan. Aku melepuh, tolong aku, Bu”  Tapi aku tak bisa berkata apa-apa. Semua kata-kata itu tertahan oleh sakit ini. Oleh panasnya kakiku ini. Oleh sakitnya dada ini. Saat kurasakan api semakin menjalar, perlahan tubuh gerobak itu terangkat dari dadaku. Aku mencoba melihat kesamping, ada merah api yang ingin berkobar di samping tubuhku. Aku semakin menjerit. Aku tak ingin melihat api itu. Lalu, di bola mataku yang tergenang air mata, aku melihat ayahku mengangkat tubuhku. Kulihat matanya. Ada tetes air mata disana. Aku diangkat, dan aku masih menangis. Aku dibawa ke depan rumah si mbah. Aku masih kesakitan. Ku rasakan kakiku yang disiram air. Itu semakin membuatku sakit. Aku makin menjerit. Aku tak bisa melihat kakiku. Di telingaku aku mendengar jeritan Ibuku, kakak-kakakku. Mereka menjerit, mereka menangis. Aku pun mendengar Ayahku berkata “Jangan takut de, jangan takut..” Kata-kata itu terdengar jelas. Kupaksakan melihat ayahku. Air mata itu semakin jelas. Kini air mata ayahku bersatu dengan air mataku sendiri. Tapi aku semakin menjerit sakit, seluruh tubuhku sakit. Aku tak bisa lagi menebak apa yang sedang orang-orang lakukan untukku. Dalam hitungan detik, semua menjadi gelap dan suara-suara yang kudengar itu perlahan-lahan tenggelam bersama jeritan dalam hatiku.
●●
            Pelan-pelan ku buka mata ini, dan sayup-sayup aku mendengar suara ibuku. Semakin jelas dan semakin terang, mata ini menangkap cahaya yang agak suram. Perlahan, aku bisa melihat Ibuku disampingku. Ibuku tersenyum dan memeluk aku. Aku melihat disamping ranjangku ada seseorang yang sedang tidur, di sela-sela pelukan Ibuku. Aku mulai berfikir apakah aku sakit sehingga aku disini. Aku tau ini adalah rumah sakit. Saat aku menggerakan kakiku, aku mulai sadar, aku mulai ingat apa yang sudah terjadi. Perlahan aku membuka selimut tebal berwarna biru tua yang menutupi kakiku, dan saat aku melihat kakiku, aku melihat kaki kiriku dililit bahan berwarna putih dari paha sampai telapak kakiku. Spontan aku menjerit sakit, dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingat api yang menjalar itu. Aku ingat air mata ayahku. Aku ingat jeritan ibu dan kakakku. Ibuku yang melihat aku menangis, juga ikut menangis. Ayahku datang dari pintu kamar. Lalu ayah menggendongku yang masih menangis. Ayah menenangkan aku, dan berkata, “Ade, jangan nangis lagi. Ini semua kecelakaan, de. Yang bawa mobil ga liat ada gerobak. Ade jangan takut, ade engga akan kehilangan kaki. Ini pasti akan sembuh. Ade jangan nangis, nanti Ibu juga nangis terus.” Kata-kata Ayahku mulai meredakan tangisanku. Ayah mulai melepas pelukannya, dan menaruh tubuhku kembali di atas ranjang.
            Setelah tangisku berhenti, seorang suster masuk keruangan tempat aku dirawat. Ibuku yang juga sudah berhenti menangis, menemani aku dan ayahku melihat bagaimana kakiku setelah kejadian itu.
            “Permisi Ibu. Saya ingin membuka perban Ade Vian. Mau dikasih obat dulu ya,” kata suster itu. Aku hanya diam dan memperhatikan suster itu mulai membuka perbanku.
            “Sus, tapi itu bisa balik lagi kayak dulu kan?” tanya Ibuku yang duduk di kursi di samping ranjang dengan ditemani oleh ayahku. Sekilas aku melihat mata Ibuku yang masih basah karena air matanya.
            “Insya Allah bisa bu. Tapi kalo balik murni seperti sedia kala, itu rasanya sulit. Luka bakar ini serius dan mendalam, Bu. Kulit terdalamnya juga sudah ikut terbakar,” jelas suster yang berpakaian putih itu sembari melepas perbanku dengan hati-hati.
            “Bisa dirawat di rumah kan, sus?” tanya ayahku kali ini.
            “Bisa, Pak. Kalau anaknya sudah engga betah di rumah sakit, ya pulang juga gapapa, asal sering dibersihin aja kakinya. Nanti dokter akan memberi obat khususnya ko, Pak,” kata suster itu yang dijawab anggukan oleh ayahku. Perban itu semakin tipis dan untuk pertama kalinya aku melihat kakiku yang terbakar. Pelan-pelan suster itu membukanya dan, saat sudah tidak ada kain perban yang menempel di kakiku, aku terdiam melihat kakiku. Kakiku hancur. Hanya kaki kiri ku saja. Kubandingkan dengan kaki kananku yang tidak terkena luka bakar. Kontras dan jelas berbeda sekali. Spontan kepercayaan diri ku merosot tajam. Bagaimana aku bisa sekolah dengan kakiku yang seperti ini? kataku dalam hati. Aku yakin aku hanya jadi bahan tertawaan teman-teman sekolahku. Suster itu pelan-pelan membersihkan kaki kiriku itu. Sangat sakit rasanya. Panas dan ingin kucopot saja kakiku. Aku menangis lagi. Aku tak bisa menahan rasa sakit ini. Aku sangat kesakitan. Ibuku mengelus rambutku dan memeluk kepalaku, menutupi mataku agar aku tidak melihat suster itu membersihkan kaki kiriku. Suster itu tak mempedulikan tangisanku. Setelah itu, kakiku diperban lagi. Ibu melepas pelukannya, dan aku melihat suster itu keluar dari kamar. Di ambang pintu, suster itu berkata,
            “Diminum obatnya ya, De Vian. Biar cepet sembuh dan engga nangis lagi yaa” lalu suster itu berjalan keluar pintu. Aku masih melihat pintu dan aku melihat Mba Fina dan Mas Rian masuk. Mba Fina mendekati aku dan Ibu. Mas Rian berdiri di ambang pintu yang baru saja ia tutup.
            “Gimana de keadaannya?” tanya mba Fina. Aku hanya diam, dan suasana menjadi hening.
            “Yaudah ade sekarang makan dulu baru minum obat yaa,” kata Ibu. Ibu bangkit dari duduknya dan mengambil makanan untukku. Kulihat mas Rian sangat mengasihani aku dari matanya. Ayah keluar dari kamar. Ibu kembali duduk dan mulai menyendokan nasi untukku. Tapi aku menggeleng.
            “Kenapa ga mau makan, de?” tanya ibuku. Aku masih diam.
            “Woy, De, makan lo. Ntar Ibu sedih. Nyusahin aja jadi orang!” celetukan mas Rian yang membuat semua orang disana terkejut. Kami semua menatap mas Rian.
            “Kalo sakit jangan macem-macem deeh. Liat kaki lo ga berbentuk. Udah kayak gitu, Ibu pasti masih lebih sayang sama lo. Ga sayang sama gue!!” kata-kata itu sangat menyakitkan. Mba Fina mendekati mas Rian dan berkata, “RIAN, ga pantes kamu bilang kayak begitu. Ibu sayang sama semuanya. Itu ade kamu. Kamu itu kakaknya yang ga boleh nyakitin ade kamu sendiri. Inget itu, Yan,” kata mba Fina dengan nada marah. Mas Rian hanya diam, lalu ia keluar dari kamar.
            Ibu menolehku kembali. Mba Fina keluar mengikuti mas Rian.
            “Lupain aja kata-kata mas Rian, De,” kata Ibu. Ibu mengambil nasi yang tadi belum sempat ku makan. Ibu mengarahkan sendok itu ke mulutku. Aku diam, tak membuka mulutku. Perlahan aku mulai menangis lagi.
            “Potong aja kaki ade. Potong aja, Bu,” kataku spontan.
            “Engga akan di potong de. Kaki ade masih bisa buat jalan,” kata ibuku lagi.
            “Aku malu punya kaki kayak gini. Aku malu. Mas Rian aja malu. Lebih baik aku ga punya kaki sama sekali. Lebih baik ga punya daripada diketawain. Lihat kakiku, Bu. Lihat. Kakiku ga berbentuk. Kakiku terbakar. Aku malu,” kataku histeris. Aku semakin histeris. Ibu yang mendengar kata-kataku juga semakin menangis.
            “Engga ada yang ngetawain. Ibu yakin, de” kata ibu lagi, walaupun tertahan oleh sesak di dadanya karena menangis.
            “Engga. Aku mau dipotong. Aku ga mau sekolah lagi. Ga mau main lagi. Mana bisa aku jadi pelari kalo kayak gini. Mana bisa, Bu. Aku malu. Aku ga mau punya kaki ini lagi,” aku mencoba mengeluarkan apa yang kurasa di dalam hatiku. Aku menangis terus. Ibu tak bisa lagi berkata. Ibu hanya menangis. Lalu, ayah dan seorang dokter masuk. Ayah memegangiku, dan Ibu menyingkir dariku. Dokter itu bersiap untuk menyuntikku. Aku semakin histeris. Aku menggerakan seluruh tubuhku. Aku rasakan sakit di kakiku. Ayah memegangi tubuhku dan aku semakin menjerit. Dokter itu segera menyuntikan jarum panjang itu ke lenganku. Setelah itu, dokter itu pergi. Tangisku mereda. Aku merasa letih. Semakin letih, dan tangisku berhenti. Aku tak bisa melihat apa-apa lagi. Mataku tertutup, dan aku tertidur pulas.
●●
            Esok paginya, aku terbangun, dan kulihat mas Rian di samping ranjangku. Ibuku sedang berbenah dan merapikan obat-obatku. Ku pandangi mas Rian, yang semula diam, perlahan mulai tersenyum padaku.
            “De, maaf yang kemaren. Maaf. Mas ga sengaja. Mas iri. Mas... ga malu punya ade kayak kamu. Maafin mas, ya,” katanya. Aku hanya diam. Ku buang pandanganku, ke atap kamar.
            “Ade, itu mas nya minta maaf, dimaafin dong,” kata Ibu.
            “De, maaf. Mas bener-bener salah. Kita pasti bisa lari bareng lagi, main layang-layang. Maaf,” suaranya semakin bergetar. Aku melihat wajahnya, dan aku menganggukan kepalaku. Lalu, aku menoleh pada Ibu, dan berkata, “Ibu, Vian ga mau sekolah lagi,” kataku. Ibu melihat ku sebentar. Tak kudengar kata-kata dari ibu. Ibu langsung keluar, begitu saja.
            “De, kamu ga boleh malu. Ini pasti bisa sembuh,Yan. Jangan kepikiran berenti sekolah doong,” kata mas Rian, “Ibu pasti sedih kalo ade berenti sekolah. Ibu pasti marah,”
Aku diam.
            Sorenya aku pulang ke rumah. Saat aku tiba di rumah, para tetanggaku mulai berdatangan untuk menjengukku. Sebenarnya, aku tidak ingin bertemu orang banyak. Aku tak kuat mendengar banyak komentar dari tetanggaku. Aku bisa menangkap ada beberapa orang melihat jijik pada kakiku ini. Aku tidak lagi percaya diri. Sekarang? Memikirkan aku keluar rumah saja aku tidak bisa.
            Malam harinya, saat tamu sudah tak ada lagi, aku pun mengganti perban. Ayah yang membukakan perbanku dan membersihkan kakiku. Saat perbanku dibuka, kulihat kakiku semakin tak berbentuk. Ada guratan-guratan berwarna merah samar  di sepanjang kakiku. Jari-jariku tertarik ke atas, tak normal lagi seperti dulu. Aku ingin kaki kiriku yang dulu. Aku tak lagi ingin memakai celana pendek. Aku ingin menutupi kekuranganku ini dengan segala cara. Jika aku harus memakai celana pendek, aku akan memakai kaus kaki yang panjangnya sampai lutut, jika aku ada pelajaran renang, aku usahakan aku tidak mengikutinya. Jika aku diminta ikut lomba lari, aku memakai segala alasan agar aku tidak mengikutinya. Aku tak lagi ingin menjadi pelari. Aku hilangkan semua keinginanku itu. Aku akan habiskan waktu pulang sekolahku di rumah. Semua itu terbayang dalam pikiranku.
Esok sorenya, Mba Fina mengajakku jalan ke luar rumah. Dengan motor matik warna merah marun, Mba Fina membawaku ke suatu tempat. Tak lama kami berkeliling, akhirnya Mba Fina menghentikan motornya tepat di bawah pohon mangga yang ukurannya cukup besar, namun rindang. Kami berdua pun turun dari motor, dan duduk di bangku panjang, tepat di bawah pohon mangga itu.
            “Ngapain sih, Mba? Mau metik mangga orang ya?” kataku penasaran.
            “Ya engga lah de, nanti kita dianggep maling ngambil barang orang,” katanya. Ia diam sejenak, dan melanjutkan, “Ade liat rumah di depan kita, yang warna cat nya putih?”  katanya. Aku mengangguk. Mba Fina melanjutkan lagi, “Coba kamu perhatiin dan bilang ke Mba apa aja yang kamu liat yaa!!” perintahnya. Aku bingung, tapi aku mulai mengatakan apa saja yang aku lihat.
            “Rumahnya engga terlalu besar, mm... lebih kecil dari rumah kita. Hmm... ada dua kursi plastik warna merah di teras rumahnya. Rumahnya bersih, dan....” suaraku berhenti. Aku melihat ada seorang anak laki-laki, yang terlihat lebih besar dariku, keluar dari pintu rumahnya. Ia tidak berjalan, tetapi ia menggeser dirinya di lantai. Ia membawa tubuhnya dengan susah payah dengan kekuatan tangannya. Ia tidak memiliki salah satu kaki! Kaki kanannya. Kaki kirinya pun hanya setengah. Dengan susah payah dia menarik tubuhnya maju. Lalu dia menarik sesuatu, sebuah buku gambar sangat besar. Ia mendirikan buku gambar besar itu dan menopangnya dengan kayu seadanya. Ia duduk di depan buku itu, dan ia mulai mencoret-coret buku gambar besar itu. Aku melihat wajahnya, lalu ke arah kakinya. Seharusnya kaki itu ada di sana. Seharusnya kaki itu dapat membantu dia berjalan. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, ke mana kakinya. Saat aku bertanya-tanya itu, aku melihat ada beberapa anak-anak yang mendatanginya dan bercengkerama dengan dirinya. Lalu anak-anak yang lain masuk ke dalam rumah anak yang tidak punya kaki itu, dan keluar dengan membawa masing-masing buku gambar besar seperti yang anak itu punya. Lalu mereka mulai mencoret-coret buku itu. Tak kulihat ada wajah suram di wajah anak itu, tak ada kesedihan hanya karena dia berbeda.
            “Kenapa diam, de?” tanya Mba Fina memecah fikiranku.
            “Ah, engga,” kataku, “Itu, anak itu engga punya kaki ya Mba? Ko dia engga sedih sih?”
            “Anak itu, kecelakaan de. Ayahnya meninggal dan dia sekarang cuma hidup sama Ibunya. Dia kehilangan kakinya, dan dia udah ga punya ayah. Sekarang, buat makan aja mereka susah, walaupun Ibunya kerja,” jawab mba Fina pelan. “Dia engga sedih karena, dia berpikir daripada dia bersedih mendingan dia menghabiskan waktu untuk hal yang membuat dia seneng. Dia sangat suka menggambar, jadi setiap hari dia menggambar. Kadang, gambarnya itu dia jual. Walaupun hanya seribu dua ribu.”
            “Dia sekolah ga, Mba?”
            “Sekolah ko. Dia itu, temennya mas Rian. Dulu, mas Rian benci sama dia. Suka ngatain dia, tapi, karena dia pernah nolong mas Rian dan ada satu peristiwa yang buat mas Rian sadar, sekarang mas Rian suka bareng sama dia. Dia termasuk anak yang pinter de, sama kayak kamu. Walaupun ada beberapa pelajaran yang ga bisa dia ikuti,”
            “Emang dia ga malu, Mba? Mas Rian ko malu punya ade kayak aku. Padahal temennya kayak begitu”
            “Untuk apa malu, de? Walaupun dia engga punya kaki, tapi dia masih bisa hidup dan bisa membantu orang lain. Liat aja, dia ngebantu temen-temennya belajar ngegambar. Temen-temennya juga pasti akan ngebantu dia, de. Mas Rian itu, Cuma iri sama kamu. Dia dulu paling disayang sama Ibu. Tapi karena kamu begini, Ibu kan malah merhatiin kamu. Tapi mas Rian baik ko sebenernya,” Jelas Mba Fina. Aku hanya terdiam. Ada rasa malu dalam hatiku. Ada rasa tidak enak pada mas Rian.
            “Yaudah yuk kita pulang. Udah sore,” ajak mba Fina. ia menuju motornya.
            “Mba...” kataku, sembari mengikuti ia jalan.
            “Ya?” jawab Mba Fina, sambil membalikan badannya dan berhadapan denganku.
            “Besok kita kesini lagi ya, kita bawa makanan buat dia..” kataku lagi.
            “ ... ”
            “Mba, ko diem?” kataku, dan mencoba melihat Mba Fina yang ada di depanku. Ada butiran air mata yang sepertinya mau jatuh ke kedua pipi merahnya. Ia tersenyum. Lalu, ia memegang pundakku.
            “Ini baru adik nya Mba. Semangat ya de, banyak yang nasibnya lebih ga seberuntung kita semua,” katanya dan tersenyum lagi. Ia lalu menaiki motornya, menstrarternya. Aku pun naik. Lalu, Ia berkata, “Ayo kita pulaaaangg,”
●●

            Di atas sajadahku, dengan suara takbir menyayat hati, air mataku keluar kembali dengan derasnya. Mengingat kejadian yang paling membuatku sedih, tetapi memberikan pelajaran untuk anak lelaki yang masih kecil sepertiku. Kejadian duabelas tahun yang lalu itu, membuat aku berpikir untuk selalu bersyukur, selalu mengucapkan terimakasih, menghargai kekurangan fisik orang lain, membantu orang yang kesulitan. Semua itu membuat aku berubah menjadi seperti yang sekarang. Percaya diriku bangkit kembali dan aku, mulai berusaha menjadi pelari yang tak pandang kekurangan kakiku.
            Setiap tahun pada hari Lebaran, aku selalu teringat kisahku itu. Aku selalu melihat kakiku yang masih ada walaupun tak seindah dulu lagi. Aku selalu teringat Ibu dan Ayahku. Aku selalu teringat teman mas Rian, yang ternyata bernama mas Agus. Kini, ia telah menjadi seorang mahasiswa si salah satu PTN di kota Bandung. Aku selalu teringat, mengumpulkan salam tempel bersama Mas Rian, yang hasilnya selalu aku sumbangkan, untuk orang-orang yang lebih membutuhkan diluar sana. Dan aku selalu teringat, wajah orang yang membawa mobil di hari Lebaran, dua belas tahun yang lalu.
●●●

No comments:

Post a Comment